Senin, 20 Desember 2010

PemiLihan Umum 1955

Pemilihan Umum 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintahDalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya,penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1.Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2.Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Indonesia adalah penganut paham KEdaulatan Rakyat (demokrasi). Untuk melaksanakan azas demokrasi (kekuasaan ada ditangan rakyat) maka pemerintahan RI pada masa kabinet Burhanuddin, pada masa itu untuk pertama kali mengadakan pemilihan umum sebagai suatu usaha yang ditujukan demi tercapainya stabilitas pemerintahan. Sehingga untuk mewujudkannya, anggota-anggota DPR hendaklah dipilih dalam suatu pemilu yang bebas dan rahasia. Periode ini dimulai dengan dilaksanakannya pemilihan Umum I dan berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden 1959 tentang kembali ke UUD 1945. Panitia Pemilihan Pusat telah menetapkan bahwa pemilihan untuk parelemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pada tanggal tersebut, lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara. Hasil Pemilu I ini dimenangkan oleh 4 partai, yaitu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Pemilu untuk Konstituante diadakan pada tanggal 15 Desember 1955. Suasana dalam menghadapi pemilihan ini lebih tenang daripada ketika menghadapi pemilihan untuk DPR. Pada bulan Oktober, terjadi penggantian Kepala Staf TNI Angkatan Darat, dengan 3 orang calon diajukan, yaitu: Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Tetapi tidak ada kesepakatan dalam parlemen siapa yang akan dipilih; masing-masing ada yang menentangnya. Atas usul dari NU, KOL. A.H . Nasution dicalonkan dan Nasution sendiri menerima pencalonan tersbut pada 25 Oktober 1955. Akhirnya, pada 28 Oktober 1955 diputuskan bahwa Kol.A.H.Nasution kembali diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Jumlah orang hadir dalam pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota DPR pada bulan September 1955 sangat banyak. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 persen dari para pemilih terdaftar. Walaupun pasti banyak pemilih yang memberikan suara sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh para pemimpin keagamaan, para kepala desa, para pejabat, para tuan tanah, atau para atasan lainnya, bagaimanapun juga, pemilihan umum nasional ini penting sekali dalam sejarah bangsa Indonesia. Pemilihan tersebut menawarkan pilihan yang paling bebas di antara sederet partai-partai yang jumlahnya tidak dibatasi, yang kesemuanya berkampanye dengan penuh semangat. Oleh karena itu, hasil-hasil pemilihan umum tersebut dapat banyak menunjukkan kesetiaan-kesetiaan politik pada saat itu. Hasil-hasil yang paling penting diberikan di bawah ini.
Hasil DPR
No.  
Partai    
Jumlah Suara    
Persentase  
Jumlah Kursi    
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.091.160
2,89
8
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
1.003.326
2,66
8
7.
Partai Katolik
770.740
2,04
6
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
1,99
5
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
541.306
1,43
4
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
483.014
1,28
4
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
242.125
0,64
2
12.
Partai Buruh
224.167
0,59
2
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
219.985
0,58
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
206.161
0,55
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
200.419
0,53
2
16.
Murba
199.588
0,53
2
17.
Baperki
178.887
0,47
1
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
178.481
0,47
1
19.
Grinda
154.792
0,41
1
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
149.287
0,40
1
21.
Persatuan Daya (PD)
146.054
0,39
1
22.
PIR Hazairin
114.644
0,30
1
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
85.131
0,22
1
24.
AKUI
81.454
0,21
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
77.919
0,21
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
72.523
0,19
1
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
64.514
0,17
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
0,14
1
29.
Lain-lain
1.022.433
2,71
-
Jumlah
37.785.299
100,00
257

Hasil Konstituante
No.    
Partai/Nama Daftar    
Jumlah Suara    
Persentase    
Jumlah Kursi    
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
9.070.218
23,97
119
2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.989.333
18,47
91
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.232.512
16,47
80
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.059.922
2,80
16
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
988.810
2,61
16
7.
Partai Katolik
748.591
1,99
10
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
695.932
1,84
10
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
544.803
1,44
8
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
465.359
1,23
7
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
220.652
0,58
3
12.
Partai Buruh
332.047
0,88
5
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
152.892
0,40
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
134.011
0,35
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
179.346
0,47
3
16.
Murba
248.633
0,66
4
17.
Baperki
160.456
0,42
2
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
162.420
0,43
2
19.
Grinda
157.976
0,42
2
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
164.386
0,43
2
21.
Persatuan Daya (PD)
169.222
0,45
3
22.
PIR Hazairin
101.509
0,27
2
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
74.913
0,20
1
24.
AKUI
84.862
0,22
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
39.278
0,10
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
143.907
0,38
2
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
55.844
0,15
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
38.356
0,10
1
29.
Gerakan Pilihan Sunda
35.035
0,09
1
30.
Partai Tani Indonesia
30.060
0,08
1
31.
Radja Keprabonan
33.660
0,09
1
32.
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
39.874
0,11
 
33.
PIR NTB
33.823
0,09
1
34.
L.M.Idrus Effendi
31.988
0,08
1
35.
Lain-lain
426.856
1,13
 
Jumlah
37.837.105
 
514

Kontestan daam Pemilihan Umum pertama ini terdiri dari partai-partai yang jumlahnya cukup banyak. Bahkan organisasi-organisasi massa dan perorangan pun ada yang ikut menjadi kontestan dalam Pemilu. Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai lebih bertambah banyak daripada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Akan tetapi, hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Diantara partai-partai ‘empat besar’ tersebut hampir terjadi jalan buntu. Partai yang terbesar hanya dapat menguasai 22 persen dari kursi DPR. Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk lebih mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi, para pemimpin NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elite Jakarta dan membuat PNI semakin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh mitra mudanya itu (Riclefs, 1998: 376-377).
Mungkin pola yang paling tidak menyenangkan ialah perpecahan partai yang jelas antara Jawa dan Luar Jawa. Masyumi benar-benar merupakan partai yang terkuat di luar Jawa, memenangkan antara seperempat dan separoh jumlah keseluruhan suara di semua wilayah kecuali Bali dan daerah-daerah Kristen, dan tiga perempat jumlah suara di Aceh. Partai ini juga merupakan partai terbesar di jawa Barat yang kuat Islamnya, walaupun di sana PNI tidak jauh tertinggal, sedangkan PKI maupun NU adalah lemah. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, keadaan antara PNI, NU dan PKi kira-kira seimbang. Jika hanya memperhatikan suara yang diebrikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk ‘empat besar’, PNI memenangkan 32 persen, NU 30 persen (dan merupakan partai terbesar di daerah pusatnya di Jawa Timur), dan PKi 27 persen, sedangkan Masyumi hanya memenangkan 12 persen. Pemilihan umum tersebut tidak memecahkan masalah-masalah politik, tetapi hanya membantu menarik garis-garis perjuangan secara lebih jelas.
Pemilihan umum itu tidak menghasilkan penyelesaian untuk kesulitan-kesulitan sistem parlementer dan oleh karenanya merupakan langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan keseluruhan system itu. Pemilihan anggota Majelis Konstituante dalam bulan Desember merupakan suatu anti klimaks dan menimbulkan hasil-hasil menyeluruh yang serupa (Ricklefs, 1998: 378).
Para lembaga-lembaga Negara yang merupakan hasil bentukan dari pemilu ternyat tidak mampu ,melaksanakan tugas sesuai kehendak rakyat, seperti hal yang dijelaskan dibawah ini:
a.DPR hasil pemilu tidak bekerja untuk kepentingan nasional dan kepenttingan rakyat. Anggota-anggota DPR hanya memperjuangkan kepentingan partainya masing-masing. Oleh karena itu, perselisihan antar partai tetap berjalan, sehingga stabilitas politik tidak tercapai.
b.Konstituante sebagai hasil pemilu, juga tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Dalam menyusun UUD, anggota-anggota konstituante hanya mementingkan urusan partainya sendiri-sendiri sehingga dalam setiap rapat konstituante sering terjadi perdebatan-perdebatan sengit.

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajahmada University Press

Kansil,C.S.T. 1986. sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Poesponegoro, Marwati D. 1984. Sejarah NAsional Indonesia 6. Jakarta: Balai Pustaka


www.pemilihan umum di indonesia
www.pemilu 1955

Tidak ada komentar:

Posting Komentar