Senin, 20 Desember 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA MASA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG 1 (PJP 1) PADA ERA ORDE BARU

A.Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru Sebelum Adanya Kebijakan Pembangunan Jangka Panjang 1 (PJP 1)
Orde Baru tumbuh diatas reruntuhan Orde Lama warisan Soekarno yang sedang mengalami keporakporandaan dalam bidang politik dan ekonomi. Ia mewarisi krisis yang ditinggalkan oleh Orde Lama. Melalui SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) Soeharto, sebagai “Bapak Orde Baru”, secara perlahan-lahan berhasil melucuti kekuasaan Soekarno. Semenjak 1968, tahun ketika kekuasaannya disahkan secara de facto dan de jure, Soeharto menunjukkan gaya pemerintahannya yang mengedepankan stabilitas nasional, baik stabilitas politik maupun ekonomi.
Pada awal orde baru ekonomi Indonesia dalam keadaan yang buruk. Sejak Maret 1966, rejim baru ini mewarisi keadaan perekonomian yang porak poranda. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan memenuhi kewajiban utang luar negeri sebesar lebih dari US$2 miliar, penerimaan ekspor yang hanya setengah dari pengeluaran untuk impor barang dan jasa, keidakerdayaan mengendalikan anggaran belanja dan memungut pajak, laju inflasi secepat 30-50 persen per bulan, buruknya kondisi prasarana perekonomian serta penurunan kapasitas produktif sektor industri dan ekspor.
Laporan pemerintah bulan September 1966 kepada para kreditornya yang non komunis menggambarkan tingkat bencana nasional yang dihadapi rezim baru ini. Inflasi tahunan terhitung melebihi 600%, persediaan uang 800 kali lebih tinggi daripada angka di tahun 1955 dan defisit pemerintah 780 kali lebih banyak daripada tahun 1961 (dan 1,8 kali dari persediaan total uang) (Ricklefs, 2008:603).
Menghadapi keadaan yang demikian parah, ditetapkan beberapa langkah prioritas kebijakan ekonomi berupa upaya-upaya sebagai berikut:
a.memerangi hiperinflasi
b.mencukupi stok bahan pangan, khususnya beras
c.merehabilitasi prasarana perekonomian
d.meningkakan ekspor
e.menyediakan/ menciptakan lapangan kerja
f.mengundang kembali investasi asing (Dumairy, 1996: 3-4)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan perlu diadakannya landasan-landasan baru, berdasarkan landasan-landasan tersebut dapat dilakukan stabilitasi dan rehabilitasi. Dikeluarkanlah Ketetapan No. XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang pada hakekanya merupakan suatu konsepsi strategis yang tepat untuk menggulangi kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak tahun1955. Ketetapan ini terdiri dari 10 bab dan 71 pasal sebagai berikut:
1.landasan dan prinsip kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan
2.kebijaksanaan ekonomi
3.skala prioritas nasional
4.peranan pemerintah
5.peranan koperasi
6.peranan swasta nasional
7.kebijaksanaan pembiayaan
8.hubungan ekonomi luar negeri
9.prasarat
10.penutup
Pada tahun 1967 terjadi perubahan ekonomi dengan cepat,inflasi berkurang hingga sekitar 100%, angkanya masih tinggi, akan tetapi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya ini termasuk kemajuan yang besar mengingat inflasi sebelumnya sangat tinggi.
Dari tahun 1966 hingga akhir tahun 1968, rupiah dibiarkan mengambang secara bebas. Kebijakan semacam ini mengurangi ekspor gelap dan impor asing serta mendorong perambahan bantuan dan investasi luar negeri. Produksi minyak tumbuh sekitar 15% dan inflansi berkurang sekitar 85% (Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993: 431-432).
Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu kestabilan ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing dapat diatasi.

B.Perencanaan Pembangunan Nasional Pada Masa Orde Baru
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Pembangunan Nasional pada masa Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Trilogy Pembangunan terdiri dari :
 Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
 Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Sejak Oktober 1966 pemerintah Orde Baru melakukan penataan kembali kehidupan bangsa di segala bidang, meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan nasional yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum. Di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Program ini dilaksanakan dengan skala prio ritas:
(1) pengendalian inflasi,
(2) pencukupan kebutuhan pangan,
(3) rehabilitasi prasarana ekonomi,
(4) peningkatan ekspor, dan
(5) pencukupan kebutuhan sandang
Pada permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pembangunan dilaksanakan dalam 2 tahap. Yakni :
 jangka panjang : jangka panjang mebcakup periode 25 sampai 30 tahun
 jangka pendek. : jangka pendek mancakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan “pelita” ( Pembangunan Lima Tahun )
Pelita yang dimaksud adalah :
 Pelita I (1 April 69 – 31 Maret 74) : Menekankan pada pembangunan bidang pertanian.
 Pelita II (1 April 74– 31 Maret 79) : Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
 Pelita III (1 April 79 – 31 Maret 84) : Menekankan pada Trilogi Pembangunan.
 Pelita IV (1 April 84 – 31 Maret 89) : Menitik-beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
 Pelita V ( 1 April 89 – 31 Maret 94) : Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
 Pelita VI (1 April 94 31 Maret 1999) : Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

C.Sasaran Pelita 1-V dalam Pembangunan Jangka Panjang 1 (PJP 1) Pada Masa Orde Baru
Pembangunan adalah proses perubahan yang terus menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menujun tujuan yang ingin dicapai. Dalam pembangunan nasional Indonesia, tujuan yang ingin dicapai adalah tercptanya masyarakat adil dan makmur yang merata secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila.
Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970 menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomiannya Rostow, dimana kemajuan perekonomian suatu masyarakat melalui beberapa tahapan, sehingga pada masa itu pemerintah mengenalkan adanya Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), dan PJPT II. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama PJPT I.
Pada permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Setelah berhasil memulihkan stabilitas perekonomian dalam waktu relatif singkat, dilancarkan kebijakan pembangunan jangka panjang yang dimulai sejak 1 April 1969. Program pembangunan jangka panjang ini dibagi-bagi menjadi beberapa tahapan-tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Sampai dengan pelaksanaan enam tahapan Repelita ini, pelaksanaan pembangunan senantiasa diarahkan kepada pencapaian tiga sasaran pembangunan yang dikenal dengan sebutan “Trilogi Pembangunan” yakni stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. GBHN merupakan dasar bagi Pelita 1 sampai Pelita V, yaitu Pembangunan Jangka Panjang 1.
Setiap Repelita mempunyai sasaran-sasaran yang hendak dicapai. Pelita 1 dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969. Tujuan Pelita 1 adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutya, sedangkan sasarannya yang hendak dicapai adalah perbaikan pangan, sandang dan perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya diletakkan pada pembangunan bidang pertanian.
Pelita II dilaksanakan pada 1 April 1974. Hasil-hasil dari Pelita pertama dijadikan titik tolak bagi Pelita II, sasaran utama dari Pelita II adalah tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang bertambah baik, tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas lain yang diperlukan terutama untuk kepentingan rakyat banyak, keadaan prasarana yang makin meluas dan sempurna, keadaan kesejahteraan yang lebih baik dan lebih merata, meluasnya kesempatan kerja.
Pelita III dimulai pada 1 April 1979. Hasil dari Pelita 1 dan II dijadikan landasan bagi pelaksanaan Pelita III. Pembangunan pada Pelita III tetap didasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan yang lebih menonjol pada segi pemerataan. Azas pemerataan itu akan dituangkan dalam berbagai langkah dan kegiatan antara lain melalui 8 jalur pemerataan, yakni:
a.pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan, sandang dan perumahan
b.pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan
c.pemerataan pembagian pendapatan
d.pemerataan kesempatan kerja
e.pemerataa kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita
f.pemerataan penyebaran pembangunan diseluruh wilayah tanah air
g.pemerataan memperoleh keadilan (Marwati Djoened Poesponegoro, 1993:444-454)
Pelita III pemerintah dihadapkan dengan beberapa kesulitan-kesulitan, hingga pemerintah menempuh kebijakan-kebijakan makroekonomi yang drastis dan tegas. Anggaran belanja dihemat secara berturut-turut dalam bulan Januari 1983 dan Januari 1984.
Pelita IV Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan. Awal periode ini dimulai dengan keberhasilan dalam berswasembada beras. Akhirnya periode ini ditutup dengan perkembangan luar biasa pasar modal (Bursa Efek Jakarta) dan sektor perbankan.
Pelita V dilaksanakan pada 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Sasaran utama pada Pelita V adalah pemantapan, konsolidasi dan pembangunan di setiap bidang kehidupan agar siap untuk memasuki awal tahap tinggal landas, penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup merata bagi angkatan kerja yang jumlahnya terus meningkat (Mulyana, 1995:17).
Pada masa ini Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya. Periode ini telah mengantarkan Indonesia menjadi sebuah Negara industri baru.

D.Pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah adanya PJP 1 (Pembangunan Jangka Panjang 1)
1.Bidang Ekonomi
Selama 25 tahun masa PJP 1 pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode. Periode pertama, sering dikenal dengan zaman minyak yaitu tahun 1967/1968 sampai tahun 1981 telah mengantarkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat 7-8% per tahun dengan peningkatan pendapatan perkapita 5% pertahun. Periode kedua, ditandai oleh semakin merosotnya harga minyak dipasar internasional yang mengakibatkan merosotnya pendapatan nasional. Periode ini dipahami sebagai periode transisi, artinya dari ekonomi Negara ke ekonomi pasar, transisi dari ekonomi minyak ke ekonomi non-minyak, transisi dari ekonomi regulasi ke ekonomi deregulasi. Ekonomi transisi ini terjadi pada tahun 1982 sampai tahun 1987 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 3.5%. Periode ketiga, terjadi menjelang akhir PJP 1 yakni pada tahun 1988 sampai tahun 1993, bergesernya peranan ekonomi Negara yang merupakan “prime mover” pembangunan ke ekonomi pasar (swasta). Pada periode ini perekonomian Indonesia ditandai dengan makin meluasnya kegiatan ekonomi yang dipegang oleh pengusaha swasta. Di bidang moneter banyak bank swasta bermunculan setelah deregulasi moneter berupa Pakto 1988. Demikian deregulasi sector riil, sejak inpres 4/1985 yang diteruskan sampai dengan Paket Juli 1992, makin menciptakan kondisi yang kondusif bagi peluang usaha sektor swasta. Akhir kebijakan ekonomi tersebut peranan swasta telah membantu mempertahankan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% pertahun (Sukamdani Sahid G, 1993:21-22).
Selama PJP I, berbagai kebijakasanaan dan program pembangunan , baik yang dilaksanakan melalui inpres – inpres, telah berhasil menurunkan jumlah dan prosentase penduduk miskin, yaitu dari 70 juta jiwa atau 60% pada tahun 1970 menjadi 26 juta atau 14% tahun 1993. Padahal dalam kurun waktu tersebut jumlah penduduk Indonesia meningkat 73 Juta. Oleh karena itu, banyak lembaga International yang bergerak dibidang pembangunan menilai bahwa pembangunan Indonesia sangat berhasil, bukan hanya dilihat dari segi pertumbuhan tetapi juga pemerataannya. Memasuki PJP II, dalam repelita VI antara tahun 1993 - 1996, telah terjadi lagi penurunan penduduk miskin, yakni menjadi 22,5 juta jiwa atau 1,3% ( Ginanjar Kartasasmita, 1992 ).
Kinerja perekonomian selama dua Pelita pertama sangat memuaskan. Perekonomian tumbuh 7 persen rata-rata per tahun. Investasi meningkat dengan laju yang menggembirakan, dari 11 menjadi 24 persen produk domestik bruto selama sepuluh tahun. Kontribusi tabungan pemerintah dibandngkan bantuan luar negeri dalam anggaran pembangunan naik dari 23 persen pada tahun fiskal 1969/70 menjadi 55 persen .
Dampak Pelita 1 dan berikut-berikutnya terhadap Indonesia sangat mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun tinggi. Pada awal Pelita I (1969), PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8 triliun rupiah pada harga konstan. Pada tahun 1990 terjadi 188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstans. Selama periode 1969 sampai 1990, laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata pertahun diatas 7%.
Perubahan ekonomi structural juga sangat nyata selama masa Orde Baru bila dilihat dari perubahan pangan PDB, terutama dari sector industri. PDB yang berasal dari sector industri manufaktur meningkat setiap tahun. Meningkatnya kontrbusi output dari sector industri manufaktur terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB selama orde baru mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi atau tranformasi ekonomi di Indonesia, dari Negara agraris kenegara semi industri.
Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa PJP I tidak hanya disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno yang jauh lebih baik/lebih solid dibandingkan pada masa orde lama dalam menyusun dan melaksanakan rencana, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi, akan tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang besar dari minyak teruatama pada periode krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/1974. Selain minyak dan pinjaman luar negeri, PMA khuhsusnya sejak pertengahan decade 1980-an terhadap proses pembangunan ekonomi di Indonesia semakin besar (Tambunan,2001:11-14).
Gambaran perekonomian Indonesia selama tahun 1970-an adalah perekonomian yang gemilang berkat kejutan-kejutan minyak yaitu boom minyak pada tahun 1973 dan 1979. Akan tetapi, sejak kenaikan-kenaikan harga minyak dipasaran internasional, anggaran pemerintah menjadi semakin bergantung pada penerimaan pajak minyak serta bantuan dan utang luar negeri. Sekitar dua pertiga penerimaan domestik pemerintah bersumber dari minyak. Kemelut minyak dunia dan resesi yang melanda negara-negara industri menyebabkan OPEC dalam bulan Maret 1983 memutuskan untuk memotong balik hara maupun produksi minyak. Harga minyak mentah diturunkan US$5per barrel dan sistem kuota produksi diterapkan. Resesi ekonomi yang meluas dan situasi minyak yang tidak menguntungkan praktis mempengaruhi perekonomian Indonesia . Nilai ekspor netoberkurang 38 persen pada tahun itu dan ekspor non-migas terus meningkat, walaupun tidak secepat tahun-tahun sebelumnya. Akibat semuanya itu, surplus neraca berjalan sebesar US$2 miliar pada tahun 1980/81 berbalik menjadi deficit sebesar US$2,7 miliar pada tahun 1981/82. Efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi begitu dramatis sehingga produk domestic bruto hanya tumbuh 2.24 persen padahal selama dasawarsa sebelumnya PDB tumbuh rata-rata 7-8 persen per tahun.(Dumairy, 1996:5-6)
Pada 1977 perekonomian Indonesia telah menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan yang ditandai oleh perubahan struktur ekonomi. Sektor ekonomi pertanian menunjukkan kenaikan yang cukup stabil sehingga mampu mencapai swasembada pangan (Yuliadi, 2007:23).
Pada Pelita IV perekonomian internasional terjadi kemelut pasar modal dan realiansi mata uang (currency realignment) ini menyebabkan beban utang luar negri Indonesia menjadi lebih berat. Pemerintah terpaksa melakukan penghematan atas pengeluaran rutinnya serta penggiatan pengawasan dan penertiban penggunaan dan pembangunan. Itulah sebabnya pada tanggal 12 September 1986 rupiah didevaluasi pagi dalam rangka menggenjot ekspor non migas. Sebulan sebelum itu, harga minyak bumi di pasaran dunia anjlok sampai dibawah US$ 10 per barrel. Pelita IV tidak hanya diwarnai dengan keprihatinan akan tetapi juga kemantapan. Awal periode ini, yakni tahun 1984 dimulai dengan keberhasilan kita dalam berswasembada beras periode ini ditutup dengan perkenmbangan luar biasa pasar modal (Bursa Efek Jakata) dan sector Perbankan. Situasi umum perekonomian sepanjang Pelita V jauh lebih baik. Pertumbuhan rata-rata 6,70 % pertahun, dibandingkan rata-rata 5,32 % dalam Pelita sebelumnya. (Dumairy,1996:5-7)
2.Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan
Pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan makin merata. Kebutuhan pokok rakyat telah tersedia secara meluas dengan harga yang mantap dan dalam jangkauan rakyat banyak. Dalam PJP I kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang sangat berarti.
Pada awal PJP I, angka harapan hidup baru mencapai rata-rata 45,7 tahun dan telah meningkat menjadi 63,5 tahun pada tahun 1995/96. Dalam periode yang sama, angka kematian bayi telah menurun dari 145 menjadi 55 per seribu kelahiran hidup. Peningkatan kesejahteraan rakyat ditunjukkan pula oleh meningkatnya ketersediaan jumlah kalori makanan yang tersedia bagi penduduk Indonesia dari 2.035 kilokalori dalam tahun 1968 menjadi 3.055 kilokalori per kapita per hari pada tahun 1995. Penyediaan protein juga mengalami peningkatan yaitu dari 43,0 gram per kapita per hari pada tahun 1968 menjadi 69,2 gram per kapita per hari pada tahun 1995. Kedua indikator tersebut telah melampaui sasaran Repelita VI yang sebesar 2.150 kilokalori dan 46,2 gram per kapita per hari. Peningkatan rata-rata kalori dan protein ini juga mencerminkan peningkatan pendapatan rakyat banyak serta pemerataan pembangunan.
Keberhasilan di bidang pangan yang antara lain tercermin dari tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan diakui oleh FAO pada tahun 1985, telah meningkatkan kemampuan dalam penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Swasembada pangan ini akan terus dipertahankan secara dinamis didukung oleh upaya diversifikasi pangan. Pada awal PJP I sampai dengan tahun kedua Repelita VI, ketersediaan beras per kapita per tahun meningkat dari 96,5 kg menjadi 150,9 kg; daging dari 2,7 kg menjadi 8,1 kg; telur dari 0,2 kg menjadi 3,3 kg; ikan dari 8,9 kg menjadi 19,4 kg.
Program wajib belajar enam tahun yang dicanangkan sejak tahun 1984 telah mencapai sasarannya sebelum PJP I berakhir. Angka partisipasi kasar (APK) pada tingkat sekolah dasar meningkat dari 68,7 persen pada awal PJP I menjadi 111,9 persen pada tahun 1995/96; dari 16,9 persen menjadi 60,8 persen pada tingkat sekolah lanjutan pertama; dari 8,6 persen menjadi 35,9 persen untuk tingkat sekolah lanjutan atas; dan dari 1,6 persen menjadi 11,4 persen untuk tingkat pendidikan tinggi. Keberhasilan program-program pendidikan ini juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta aksara dari 39,1 persen pada tahun 1971 menjadi 12,7 persen pada tahun 1995. Hasil pendidikan ini bukan sekedar statistik. Peningkatan pendidikan akan meningkatkan pendapatan, apresiasi terhadap sekitarnya, kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah, serta membangun kualitas kehidupan bagi generasi berikutnya.
Dewasa ini kita sedang memetik hasil dari pendidikan dalam PJP I, sambil menyiapkan pendidikan untuk generasi yang akan datang. Meningkatnya derajat pendidikan dan juga kesehatan mempunyai dampak terhadap peningkatan kualitas peranan wanita dalam pembangunan. Derajat pendidikan wanita dari tahun ke tahun terus meningkat yang ditunjukkan oleh makin banyaknya wanita yang menempuh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Pada tingkat SD jumlah murid wanita sudah hampir sama dengan murid laki-laki dengan rasio lebih dari 0.90. Pada tingkat SLTP, SLTA, dan PT rasio tersebut telah mencapai berturut-turut 0,89, 0,84, dan 0,63, dan terus meningkat.
Demikian pula halnya dalam bidang kesehatan, misalnya angka harapan hidup (AHH) wanita bahkan lebih tinggi dari AHH laki-laki, yaitu sebesar 65,3 tahhun pada tahun 1995/96 sedangkan AHH laki-laki yaitu sebesar 61,5 tahun. Di bidang ekonomi, peningkatan peran wanita ditunjukkan dengan makin banyaknya pekerja wanita yang pada tahun 1990 berjumlah 25,5 juta orang meningkat menjadi 28,5 juta orang pada tahun 1995. Dengan kemajuan tersebut, maka peranan wanita di segala bidang pembangunan makin nyata. Dalam pembangunan perdesaan, misalnya, peran wanita melalui PKK sangat besar kontribusinya.
3.Bidang Agama
Agama mempunyai peran yang sangat penting terhadap pembentukan moral manusia Indonesia sebagai dasar membentuk manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, dukungan prasarana dan sarana peribadatan yang memadai memang diperlukan dalam upaya menjalankan kehidupan ibadah yang tenteram dan damai. Sejak awal PJP I sampai dengan tahun 1995/96 telah dibangun mesjid, gereja Kristen Protestan, gereja Katolik, Pura, dan Wihara oleh berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat masing- masing sebanyak 600,3 ribu mesjid, 31 ribu gereja Protestan, 14 ribu gereja Katolik, 23,7 ribu Pura dan 4 ribu Wihara. Walaupun sekali waktu dapat timbul ketegangan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa selama ini telah berhasil diciptakan suasana kehidupan antaragama yang rukun sehingga para pemeluk agama dapat menjalankan ibadahnya dengan tenteram, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
4.Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu dasar utama untuk meningkatkan produktivitas. Berbagai upaya peningkatan teknologi terutama di bidang pertanian dan kesehatan telah membuahkan hasil selama PJP I dan dua tahun pertama Repelita VI telah membuahkan hasil. Keberhasilan lain yang dapat dicatat adalah meningkatnya kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam industri manufaktur, mulai dari industri dengan teknologi sederhana sampai industri canggih seperti pesawat terbang.
5.Bidang Hukum
Hukum merupakan dasar untuk menegakkan nilai-nilai kemanusian. Berbagai perbaikan di bidang hukum telah dilakukan dan diarahkan menurut petunjuk UUD 1945. Dalam kaitan ini, antara lain telah ditetapkan Un dang-undang tentang KUHAP, Undang-undang tentang Hak Cipta, Paten, dan Merek, kompilasi hukum Islam, dan lain-lain. Agar hukum dapat dijalankan berdasarkan peraturan- peraturan yang berla ku, telah pula dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat luas maupun kepada aparat pemerintah. Perbaikan aparatur hukum terus menerus dilakukan meskipun belum mencapai hasil yang optimal, dan belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan keadilan masyarakat.
6.Bidang Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa
Pembangunan politik selama PJP I dan dua tahun Repelita VI telah dapat mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis sehingga memungkinkan pelaksanaan pembangunan nasional yang menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik. Pembangunan politik juga telah mendorong terciptanya iklim keterbukaan yang bertanggung jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi Pancasila. Hal ini terutama dengan telah adanya pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila serta telah diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas berbangsa dan bernegara oleh seluruh organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan.
Selain itu, perlu dicatat pula perampingan organisasi peserta pemilu dari 10 peserta pada pemilu tahun 1971 menjadi 3 peserta. Dalam hubungannya dengan politik luar negeri, Indonesia telah memainkan peranan yang cukup penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Antara lain patut dicatat peranan Indonesia di PBB, ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC. Dalam upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pembangunan, kualitas dan kuantitas aparatur negara terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini juga dilakukan penataan organisasi Departemen dan lembaga Non Departemen. Peningkatan kemampuan kegiatan penerangan, komunikasi, dan media massa (TV, radio, majalah, dan surat kabar) telah meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa.
7.Bidang Pertahanan Keamanan
Stabilitas keamanan di dalam negeri merupakan tulang punggung upaya pembangunan nasional. Dalam hal ini manunggalnya ABRI dengan rakyat dan mantapnya dwi fungsi ABRI merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan selama PJP I sampai pertengahan pelaksanaan Repelita VI sekarang ini. Pembangunan pertahanan keamanan terus dilakukan sesuai dengan Sishankamrata, dan dengan terus memperkuat kemampuan ABRI dalam melaksanakan kedua fungsinya.

DAFTAR RUJUKAN

Mackie, J. A. C. 1963. Sedjarah Pembangunan Ekonomi Dalam Dunia Modern. Djakarta: PT Pembangunan Djakarta
Muljana, B. S. 1995. Perencanaan Pembangunan Nasional: Proses Penyusunan Rencana pembangunan Nasional dengan Fokus Repelita V. Jakarta: Center For Policy and Implementation Studies (CPIS)
Gitosardjono, Sukamdani Sahid. 1993. Bisnis dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: CV Haji Masagung
Dumairy, M. A. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Poesponegoro, Marwati Djoened dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Yuliadi, Imamudin. 2007. Perekenomian Indonesia: Masalah dan Implementasi Kebijakan. Yogyakarta: UPFE-UMY
di akses pada tanggal 22 Maret 2010 pukul 15.47 WIB

ANTHROPOLOGI EKOLOGI

ANTHROPOLOGI EKOLOGI
Donald L. Hardesty
University of Nevada, Reno
Determinisme Lingkungan
Lingkungan fisik memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kepribadian, moral, politik dan pemerintahan, agama, budaya material, ilmu alam, semua ini dijadikan subjek dalam menjelaskan determinisme lingkungan. Teori Humour Hippocrates hingga abad ke-19 menjelaskan bahwa tubuh manusia memiliki 4 unsur suasana hati yaitu empedu kuning (perasaan kesal), empedu hitam (perasaan sedih), lendir (ketenangan hati) dan darah (marah) yang masing-masing mewakili api, bumi, air dan darah. Iklim di percaya menjadi keseimbangan suasana hati, Oleh karena itu, perbedaan geografis menentukan bentuk fisik dan kepribadian. Orang yang hidup di iklim panas (tropis) seringkali bernafsu (penuh gairah), suka kekerasan, malas, hidupnya pendek dan tangkas yang dipengaruhi oleh udara panas dan kekurangan air. Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya.
Dampak iklim pada kepribadian dan kecerdasan ditentukan oleh urusan manusia lainnya terutama pemerintahan dan agama. Plato maupun Aristoteles menghubungkan iklim dengan pemerintahan dengan gambaran iklim Yunani yang ideal bagi pemerintahan demokrasi. Lain halnya pada abad ke-18, Montesquieu, seorang berkebangsaan Prancis melanjutkan garis penalaran tentang iklim dan menerapkan hal tersebut dalam agama. Para ahli geografi, Ellsworth Huntington, membawa pemikiran ini hingga abad ke-20 bahwa bentuk-bentuk agama tertinggi ditemukan di daerah beriklim kondusif pada pemikiran intelektual. Hipotesis terkenalnya adalah iklim yang panas menyebabkan masyarakat di daerah tropis menjadi malas dan banyaknya perubahan pada tekanan udara pada daerah lintang sedang membuat orangnya lebih cerdas.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa penurunan popularitas pada Teori Humour namun tidak menurunkan penganut determinisme lingkungan dengan beberapa alasan. Metode perkembangan ilmu pengetahuan alam ditandai dengan penelitian sederhana, linear, hubungan sebab-akibat yaitu A menyebabkan b menyebabkan C, dan seterusnya. Antropolog dan ahli geografi mencari penyebab sederhana dari distribusi geografis ciri budaya. Munculnya "determinisme teknologi", seperti yang didukung oleh filsafat sosial Marxis, juga berkontribusi pada kebangkitan. Determinisme lingkungan adalah bantahan pada posisi anti lingkungan penulis Marxis. Akhirnya, model penjelasan seperti ini merupakan cara sederhana untuk mengkategorikan dan menjelaskan data massa keragaman manusia yang terakumulasi sebagai hasil dari eksplorasi dunia, dalam banyak cara yang sama "Sistem Tiga Jaman (Three-Age System)” membantu mengklasifikasikan benda-benda kuno. Beberapa ahli geografi dan antropolog dengan cepat mencatat korespondensi umum antara budaya daerah dan daerah alami kemudian berpendapat bahwa lingkungan menyebabkan terjadinya wilayah budaya yang berbeda.
Budaya dan teknologi material yang diyakini paling terkena dampak lingkungan seperti yang dinyatakan dalam diskusi tentang prasejarah Southwest Amerika, William H. Holmes. Namun, FW Hodge, editor Handbook Indian Amerika Utara Meksiko, yang diterbitkan pada tahun 1907, menjelaskan, juga berkaitan dengan Southwest Amerika menyatakan budaya nonmateri juga menjelaskan lingkungan.
Sekarang ini, determinisme lingkungan telah digantikan dengan munculnya model manusia lingkungan yang menetapkan suatu pembatasan yang tidak mengakui peran atau interaksi bersama kompleks. Model perubahan genetik pada populasi manusia, misalnya, masih didominasi oleh teori seleksi alam, sebuah teori yang memberikan lingkungan yang kuat dan peran aktif dalam membentuk gen. Model adaptasi fisiologis pada ketinggian dan suhu juga ditandai oleh determinisme lingkungan. Di sisi lain, sejumlah peneliti baru-baru ini mengusulkan model-model yang sangat membatasi peran lingkungan sebagai agen perubahan biologis.
Possibilisme Lingkungan
Orientasi umum penjelasan dalam antropologi lingkungan bergeser dari determinisme dan menuju possibilisme pada 1920-an dan 1930-an. Banyak dari pergeseran ini adalah karena pengaruh pribadi Franz Boas yang menunjukkan bahwa asal mula spesifik fitur budaya dan pola-pola ini umumnya dapat ditemukan dalam tradisi historis bukan di lingkungan. Lingkungan yang kemudian memainkan peran penting dalam menjelaskan mengapa beberapa fitur budaya tidak terjadi. Kepercayaan ini adalah ciri khas possibilisme. Mungkin contoh yang paling terkenal dari penjelasan ini adalah bahwa possibilistik diandaikan oleh Alfred L. Kroeber (1939) untuk distribusi geografis budidaya jagung. Studi serupa dibuat oleh arkeolog Waldo Wedel (1941) yang menyatakan bahwa di Great Plains asli batas-batas geografis pertanian adalah fungsi dari curah hujan.
Possibilisme membuat kontribusi signifikan terhadap daerah budaya dan konsep. Pada awal 1896, Otis T. Mason menyatakan bahwa distribusi geografis kebudayaan material dan teknologi, dibentuk, oleh lingkungan. Lingkungan, bagaimanapun, tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa satu daerah budaya ditandai oleh patrilineal warisan dan lainnya dengan warisan matrilineal. Ini hanya dapat dijelaskan oleh sejarah budaya. Penyebab langsung fenomena budaya adalah fenomena budaya lainnya. Konsep wilayah budaya berkembang menjadi semacam kompromi antara determinisme dan ekstrim pandangan difusionis "kulturkreis" dan kelompok terkait.
Peran lingkungan dalam evolusi kebudayaan sangat jelas dalam pikiran possibilist yaitu lingkungan tempat pembatasan ketat pada tingkat perkembangan budaya. Mungkin yang paling sering dikutip adalah yang diambil oleh arkeolog Betty Meggers dalam paper-nya 1954 "Pembatasan Lingkungan Pengembangan Budaya” dia mendefinisikan empat tipe lingkungan yang paling cocok untuk pertanian yaitu pertama, suhu, komposisi tanah, ketinggian, topografi, lintang, atau faktor alam lainnya menghambat pertumbuhan atau pematangan tanaman lokal. Kedua, produktivitas pertanian terbatas pada tingkat yang relatif rendah oleh faktor-faktor iklim yang cepat menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Ketiga, hasil panen relatif tinggi dapat diperoleh tanpa batas dari sebidang tanah yang sama dengan pemupukan dan memulihkan ukuran tanah, atau di daerah-daerah yang lebih kering dengan irigasi. Keempat, sedikit atau tidak ada pengetahuan khusus yang diwajibkan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat yang stabil produktivitas pertanian.
Jenis ini tidak dapat ditafsirkan sebagai penyebab evolusi kebudayaan. Menurut Meggers, tipe 3 dan 4 kemungkinan tidak mencapai tingkat tinggi pembangunan untuk alasan-alasan budaya, misalnya, tidak adanya difusi yang tepat. Namun, tidak ada jumlah difusi atau faktor-faktor budaya lainnya yang dapat mengarah pada perkembangan budaya maju dalam tipe 1 atau 2 lingkungan (1954, hal 822).
Ekologi Kebudayaan
Ekologi sebagai ilmu berkembang di abad kedua puluh, tetapi sebagian besar telah dibatasi untuk mempelajari tanaman dan hewan daripada manusia. Namun, sudut pandang ekologi dalam antropologi dinyatakan awal tahun 1930-an oleh Julian H. Steward. Ekologi kebudayaan yang dipelopori Julian Steward mengambil posisi tengah-tengah antara aliran determinisme dan posibilisme. Steward menolak argumen yang mengatakan bahwa budaya dibentuk oleh lingkungan, namun dia juga tidak menempatkan faktor lingkungan pada peranan yang pasif. Pusat perhatian ekologi kebudayaan menurut Steward adalah proses adaptasi kebudayaan terhadap lingkungan alam. Relatif pengaruh lingkungan dan budaya dalam hubungan umpan balik tidak sama. Kadang-kadang budaya memainkan peran yang lebih aktif dan kadang-kadang lingkungan memiliki peran utama. Steward percaya bahwa beberapa sektor budaya lebih rentan terhadap hubungan lingkungan yang kuat dari sektor-sektor lain dan bahwa analisis ekologis dapat digunakan untuk menjelaskan kesamaan lintas budaya.
Metode ekologi kebudayaan kemudian melibatkan analisis:
1.hubungan antara lingkungan dan teknologi yang eksploitatif atau produktif.
2.hubungan timbal antara pola perilaku dan teknologi eksploitatif.
3.Sejauh mana pola perilaku mempengaruhi sektor budaya lainnya. (Steward, 1955. Hal. 40-41)
Inti budaya Steward tidak mencakup banyak aspek struktur sosial dan hampir tidak ada perilaku ritual. Tak satu pun dianggap signifikan terkait dengan lingkungan. Steward, telah mengkritik pendekatan sebagai tidak memadai. Steward memberikan sebagai tujuan utama penjelasan tentang asal-usul ciri-ciri budaya tertentu. Namun demikian, pendekatannya adalah pertama-tama menunjukkan bagaimana sebuah fitur budaya dan fitur lingkungan tertutup bahwa bagaimana mereka secara fungsional dihubungkan, dan kedua, untuk menunjukkan bahwa hubungan sama yang berulang di daerah dengan sejarah yang berbeda. Vayda dan Rappaport (1968, hal. 483-487) berpendapat bahwa pendekatan ini tidak berarti bahwa fitur lingkungan menyebabkan fitur budaya untuk alasan berikut:
1.Sampling prosedur yang tidak memadai untuk menghilangkan kemungkinan korelasi palsu.
2.Bahkan jika korelasi secara statistik signifikan, korelasi tidak selalu berarti hubungan sebab dan akibat.
3.Sama jika korelasi yang signifikan dan kausalitas itu ditunjukkan, itu tidak berarti bahwa hubungan tidak bisa dihindari.
Kelemahan kedua ekologi budaya Steward’s adalah inti budaya memperlakukan seolah-olah itu hanya mencakup teknologi. Beberapa studi telah ditunjukkan bahwa ritual dan ideologi juga berinteraksi dengan lingkungan. Akhirnya, pendekatannya tidak mencakup studi interaksi antara budaya dan biologi, baik genetik maupun fisiologis.

UAS SEJARAH MARITIM

1.Bagaimana cara VOC mengendalikan perdagangan beras di pantai utara Jawa?
VOC memberlakukan kebijakan-kebijakan sebagai upaya dalam mengendalikan perdagangan beras di pantai utara Jawa yang pada saat itu di kuasai oleh pedagang Cina dengan melakukan pembatasan perdagangan beras serta memberlakukan penarikan pajak. Dalam pembatasan perdagangan beras, VOC menangani 40% dari perdagangan beras yang terdiri dari volume sekitar 500,000 pikul, sisa 60%-nya ditangani oleh pedagang Cina dan pedagang pribumi. Dari penarikan pajak, VOC memperoleh tiap tahun pajak dari Cirebon sebesar 1,900 pikul beras pada satu ukuran dari 0.57 rds, dari propinsi Jawa Timur sebesar 28,000 pikul satuan beras dengan satuan ukuran dari 0.54 rds serta hasil dari harga pokok rata-rata 0.5 rds. VOC juga memberlakukan kebijakan teoritis dari pembelian semua keperluan dari pedagang beras pada pasar perdagangan besar di Batavia sehingga VOC membuat sebuah laba bruto imajiner dari perdagangan beras sebesar kira-kira 150%. Batavia sebagai pasar yang paling penting bagi perdagangan beras di jaga ketat oleh VOC karena posisi istimewa Batavia dalam perdagangan beras. Selain itu, VOC juga memberlakukan larangan ekspor beras ke luar negeri karena pada saat itu, di Batavia sedang dilanda krisis pangan sehingga kebijakan tersebut dilakukan untuk menghindari kelaparan di Batavia. VOC juga memerintahkan administrasi lokal untuk menutup sungai-sungai di Jawa untuk perdagangan beras karena pola cuaca tidak teratur yang menyebabkan kegagalan panen (sumber: Kajian Gerrit Knaap).

2.Uraikan dengan menggunakan contoh:
a.Commenda
Merupakan sistem perdagangan berupa kontrak peminjaman uang sebagai modal untuk melakukan suatu usaha kegiatan berlayar dengan modal tersebut yang dapat beresiko adanya untung ataupun rugi. Di sini, peran pachter selaku pemilik modal dalam kontrak peminjaman uang sbegai modal (sistem sewa) menjadi sangat penting dalam bisnis perdagangan ikan yang lebih luas. Bagi nelayan sendiri selaku peminjam modal, sistem sewa bagaikan institusi keuangan dan para pachter menjadi salah satu alternative sumber modal usaha. Sebelum pachter memberikan pinjaman modal kepada nelayan, ada kesepakatan antara pachter dan nelayan untuk melakukan kontrak mengenai peminjaman dan pengembalian modal tersebut yang dilakukan secara angsuran. Apabila nelayan belum dapat melunasi pinjaman modalnya, pachter akan terus menerima hasil dari penangkapan ikan serta pengembalian modal dari nelayan tersebut. Disisi lain Commenda merupakan sistem perdagangan mengenai kekuasaan penguasa pelabuhan yang menyediakan kapal untuk VOC serta penyerahan dagangan orang lain dalam artian penguasa memberikan keputusan apakah kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan oleh menurunkan barang dagangannya atau tidak. Birokrasi pelabuhan selaku penguasa pelabuhan mempunyai kewajiban dalam menyediakan kapal bagi birokrasi pusat yaitu VOC serta mempunyai hak dalam pengaturan di pelabuhan yaitu memberikan sebuah keputusan bagi kapal dagang yang bersandar di pelabuhan yang nantinya barang dagangan kapal tersebut boleh diturunkan atau tidak.
b.Archipelago State
Archipelago State merupakan Negara kepulauan dalam artian sebuah konsep negara kepulauan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuatan dilaut. Pemakaian dan pengendalian laut saat ini dan jauh sebelumnya merupakan faktor besar dalam sejarah dunia, bahkan dapat dikatakan keseluruhan sejarah merupakan epik atau epos dari cerita kepahlawanan dari laut. Negara Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state) tidak perlu diragukan lagi, karena Indonesia terdiri dari belasan ribu pulau yang tersebar dari Sabang-Merauke dan Sangihe-Rote. Dua per tiga luas Indonesia adalah lautan, dan air yang sebagai sumber kehidupan itu membentengi ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke. Maka, dunia pun mencatat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan total luas mencapai 1.904.556 kilometer persegi dan 17.508 pulau di dalamnya. Jauh sebelum kakek buyut bangsa ini bercerita bagaimana mereka membajak sawah hingga memanen padi, lada, teh, dan kopi, sebenarnya nenek moyang bangsa ini telah berlayar jauh bahkan hingga ke Afrika. Berbagai cerita perdagangan dan pengembaraan nenek moyang Indonesia itu tercatat dengan baik pada relief Candi Borobudur. Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, melengkapi sejarah keemasan Nusantara sebagai bangsa yang tidak dapat terlepas dari laut dan daratan. Laut, pesisir, dan sungai adalah urat nadi yang menjadi kekuatan bangsa ini sejak dulu. Di tiga tempat ini lah pelabuhan-pelabuhan besar tercipta, penuh dengan aktivitas pedagang dari berbagai pulau di Nusantara tetapi juga dari belahan dunia yang membuat perekonomian dan peradaban bergerak dengan cepat.
c.Stratifikasi sosial nelayan pada sistem sewa
Semua susunan masyarakat nelayan sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang mereka capai. Semakin strategis posisinya dalam organisasi kerja nelayan dan semakin besar pendapatan nelayan, semakin besar pula kemungkinan menempati kedudukan yang tinggi pada stratifikasi sosial masyarakat nelayan dan sebaliknya. Dalam konteks seperti ini, juragan laut akan senantiasa mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada nelayan pandega serta juragan darat menempati posisi lebih tinggi daripada juragan laut. Hampir setiap nelayan tergabung dalam kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang berpusat pada juragan. Sebagai kelompok, mereka terikat dalam suatu ikatan kerja, mendapat pinjaman perahu dari pachter, mengoperasikan bersama-sama, dan memilikinya bersama-sama setelah perahu itu lunas dibayar. Pembagian pendapatan di antara mereka didasarkan pada pertimbangan obyektif, yang mempunyai kemampuan lebih mendapatkan bagian yang lebih besar. Seorang juragan laut misalkan bertanggung jawab atas kelangsungan kinerja organisasi penangkapan secara otomatis akan mendpatkan hak yang lebih besar daripada seorang pandega. Sementara hubungan patron-klien terjadi bila hak pemilikan atas perahu berada pada seorang juragan (sumber: buku Menyisir Pantai Utara-Masyhuri).
Pachter Posisi Sentral


Juragan Darat Lapisan Teratas


Juragan Laut Lapisan Kedua

Pandega (nelayan biasa) Lapisan Ketiga

3.Bagaimana cara VOC mempertahankan kepentingannya atas Batavia?
Cara VOC mempertahankan kepentingannya atas Batavia yaitu dengan merealisasikan kebijakan-kebijakan yang memperkokoh kedudukan VOC di Batavia. VOC juga memberlakukan kebijakan politik korte verklaring (perjanjian dekat) dan lenge verklaring (perjanjian jauh). VOC memperkuat sistem birokrasinya dimana VOC juga melibatkan orang pribumi dalam birokrasi sehingga memunculkan rasa kepercayaan dimata orang-orang pribumi terhadap VOC. Selain itu, VOC melakukan monopoli perdagangan di Batavia dan daerah yang dikuasai lainnya. VOC melakukan pemusatan perdagangan dengan menjadikan Batavia sebagai satu-satunya pelabuhan internasional dimana semua kapal yang mengangkut barang dagangan dari dan luar Nusantara singgah di Batavia. Selanjutnya, VOC memberlakukan birokrasi pelabuhan di Batavia dengan adanya 2 lembaga yang berkuasa yaitu waterfiscaal (hakim yang mengadili dengan pedoman hukum laut) dan commondeurequipagemeester (lembaga yang menangani peralatan-peralatan yang dibutuhkan kapal-kapal dan menyediakan tenaga kerja). Dari birokrasi pelabuhan ini tetap dipegang oleh kulit putih (sumber: Kajian Gerrit Knaap).

4.Ketika pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pachter jumlah perahu dan nelayan meningkat. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Peranan pachter yaitu orang-orang yang mendapatkan lisensi melakukan penarikan pajak sector penangkapan ikan berdasarkan transaksi sewa menyewa antara mereka dan pemerintah, tidak saja sebagai penyedia modal tetapi juga sebagai penampung dan penyalur produksi ikan dari para nelayan. Peran mereka mengantarkan kepada bisnis yang lebih luas pada sektor penangkapan ikan terutama setelah terjadi penumpukan modal yang makin besar dan pengaruhnya terhadap kelompok nelayan semakin luas. Mereka menanamkan modalnya dalam bentuk peralatan penangkapan ikan yang dijual kepada kelompok-kelompok nelayan penangkap ikan dengan pembayaran angsuran. Selama perahu ini belum terbayar lunas, selama itu pula para nelayan berhutang padanya sehingga meskipun bisnis yang dilakukan oleh para pachter beresiko tinggi, namun mereka senantiasa meluncurkan perahu-perahu baru sehingga jumlah perahu menjadi semakin meningkat. Sebaliknya para nelayan merasa diuntungkan karena selain dapat melakukan pekerjaannya dengan pendapatan yang memadai, juga terbuka kemungkinan yang luas untuk memiliki sarana penangkapan ikan sendiri sehingga jumlah nelayan semakin meningkat seiring meningkat pula sarana untuk penangkapan ikan. Bagi nelayan sendiri, peran pachter ini merupakan kesempatan baru untuk mendapatkan modal usaha yang jauh lebih besar jumlahnya (sumber: buku Menyisir Pantai Utara- Masyhuri).

5.Identifikasikan benang merah kajian Gerrit Knaap dan Masyhuri tentang perairan Laut Jawa!
Dalam kajian Gerrit Knaap dijelaskan kegiatan perekonomian yang terjadi di Pantai Utara Jawa yang pada saat itu dikuasai oleh VOC.
Dalam kajian Masyhuri juga dijelaskan usaha dan kegiatan perekonomian nelayan Jawa dan Madura di Pantai utara Jawa sekitar tahun 1850-1940 yang pada masa itu pula dikuasai oleh VOC.
Sehingga apabila di relasikan terdapat kesinambungan (benang merah) antara kajian dari Gerrit Knaap dan Masyhuri yang sama-sama mengkaji kegiatan perekonomian, perdagangan dan pelayaran di pantai utara Jawa. Namun pada kajian Masyhuri lebih difokuskan kepada usaha dan perekonomian masyarakat nelayan.

PemiLihan Umum 1955

Pemilihan Umum 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintahDalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya,penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1.Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2.Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Indonesia adalah penganut paham KEdaulatan Rakyat (demokrasi). Untuk melaksanakan azas demokrasi (kekuasaan ada ditangan rakyat) maka pemerintahan RI pada masa kabinet Burhanuddin, pada masa itu untuk pertama kali mengadakan pemilihan umum sebagai suatu usaha yang ditujukan demi tercapainya stabilitas pemerintahan. Sehingga untuk mewujudkannya, anggota-anggota DPR hendaklah dipilih dalam suatu pemilu yang bebas dan rahasia. Periode ini dimulai dengan dilaksanakannya pemilihan Umum I dan berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden 1959 tentang kembali ke UUD 1945. Panitia Pemilihan Pusat telah menetapkan bahwa pemilihan untuk parelemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pada tanggal tersebut, lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara. Hasil Pemilu I ini dimenangkan oleh 4 partai, yaitu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Pemilu untuk Konstituante diadakan pada tanggal 15 Desember 1955. Suasana dalam menghadapi pemilihan ini lebih tenang daripada ketika menghadapi pemilihan untuk DPR. Pada bulan Oktober, terjadi penggantian Kepala Staf TNI Angkatan Darat, dengan 3 orang calon diajukan, yaitu: Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Tetapi tidak ada kesepakatan dalam parlemen siapa yang akan dipilih; masing-masing ada yang menentangnya. Atas usul dari NU, KOL. A.H . Nasution dicalonkan dan Nasution sendiri menerima pencalonan tersbut pada 25 Oktober 1955. Akhirnya, pada 28 Oktober 1955 diputuskan bahwa Kol.A.H.Nasution kembali diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Jumlah orang hadir dalam pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota DPR pada bulan September 1955 sangat banyak. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 persen dari para pemilih terdaftar. Walaupun pasti banyak pemilih yang memberikan suara sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh para pemimpin keagamaan, para kepala desa, para pejabat, para tuan tanah, atau para atasan lainnya, bagaimanapun juga, pemilihan umum nasional ini penting sekali dalam sejarah bangsa Indonesia. Pemilihan tersebut menawarkan pilihan yang paling bebas di antara sederet partai-partai yang jumlahnya tidak dibatasi, yang kesemuanya berkampanye dengan penuh semangat. Oleh karena itu, hasil-hasil pemilihan umum tersebut dapat banyak menunjukkan kesetiaan-kesetiaan politik pada saat itu. Hasil-hasil yang paling penting diberikan di bawah ini.
Hasil DPR
No.  
Partai    
Jumlah Suara    
Persentase  
Jumlah Kursi    
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.091.160
2,89
8
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
1.003.326
2,66
8
7.
Partai Katolik
770.740
2,04
6
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
1,99
5
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
541.306
1,43
4
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
483.014
1,28
4
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
242.125
0,64
2
12.
Partai Buruh
224.167
0,59
2
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
219.985
0,58
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
206.161
0,55
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
200.419
0,53
2
16.
Murba
199.588
0,53
2
17.
Baperki
178.887
0,47
1
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
178.481
0,47
1
19.
Grinda
154.792
0,41
1
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
149.287
0,40
1
21.
Persatuan Daya (PD)
146.054
0,39
1
22.
PIR Hazairin
114.644
0,30
1
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
85.131
0,22
1
24.
AKUI
81.454
0,21
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
77.919
0,21
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
72.523
0,19
1
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
64.514
0,17
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
0,14
1
29.
Lain-lain
1.022.433
2,71
-
Jumlah
37.785.299
100,00
257

Hasil Konstituante
No.    
Partai/Nama Daftar    
Jumlah Suara    
Persentase    
Jumlah Kursi    
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
9.070.218
23,97
119
2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.989.333
18,47
91
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.232.512
16,47
80
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.059.922
2,80
16
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
988.810
2,61
16
7.
Partai Katolik
748.591
1,99
10
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
695.932
1,84
10
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
544.803
1,44
8
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
465.359
1,23
7
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
220.652
0,58
3
12.
Partai Buruh
332.047
0,88
5
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
152.892
0,40
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
134.011
0,35
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
179.346
0,47
3
16.
Murba
248.633
0,66
4
17.
Baperki
160.456
0,42
2
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
162.420
0,43
2
19.
Grinda
157.976
0,42
2
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
164.386
0,43
2
21.
Persatuan Daya (PD)
169.222
0,45
3
22.
PIR Hazairin
101.509
0,27
2
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
74.913
0,20
1
24.
AKUI
84.862
0,22
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
39.278
0,10
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
143.907
0,38
2
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
55.844
0,15
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
38.356
0,10
1
29.
Gerakan Pilihan Sunda
35.035
0,09
1
30.
Partai Tani Indonesia
30.060
0,08
1
31.
Radja Keprabonan
33.660
0,09
1
32.
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
39.874
0,11
 
33.
PIR NTB
33.823
0,09
1
34.
L.M.Idrus Effendi
31.988
0,08
1
35.
Lain-lain
426.856
1,13
 
Jumlah
37.837.105
 
514

Kontestan daam Pemilihan Umum pertama ini terdiri dari partai-partai yang jumlahnya cukup banyak. Bahkan organisasi-organisasi massa dan perorangan pun ada yang ikut menjadi kontestan dalam Pemilu. Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai lebih bertambah banyak daripada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Akan tetapi, hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Diantara partai-partai ‘empat besar’ tersebut hampir terjadi jalan buntu. Partai yang terbesar hanya dapat menguasai 22 persen dari kursi DPR. Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk lebih mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi, para pemimpin NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elite Jakarta dan membuat PNI semakin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh mitra mudanya itu (Riclefs, 1998: 376-377).
Mungkin pola yang paling tidak menyenangkan ialah perpecahan partai yang jelas antara Jawa dan Luar Jawa. Masyumi benar-benar merupakan partai yang terkuat di luar Jawa, memenangkan antara seperempat dan separoh jumlah keseluruhan suara di semua wilayah kecuali Bali dan daerah-daerah Kristen, dan tiga perempat jumlah suara di Aceh. Partai ini juga merupakan partai terbesar di jawa Barat yang kuat Islamnya, walaupun di sana PNI tidak jauh tertinggal, sedangkan PKI maupun NU adalah lemah. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, keadaan antara PNI, NU dan PKi kira-kira seimbang. Jika hanya memperhatikan suara yang diebrikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk ‘empat besar’, PNI memenangkan 32 persen, NU 30 persen (dan merupakan partai terbesar di daerah pusatnya di Jawa Timur), dan PKi 27 persen, sedangkan Masyumi hanya memenangkan 12 persen. Pemilihan umum tersebut tidak memecahkan masalah-masalah politik, tetapi hanya membantu menarik garis-garis perjuangan secara lebih jelas.
Pemilihan umum itu tidak menghasilkan penyelesaian untuk kesulitan-kesulitan sistem parlementer dan oleh karenanya merupakan langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan keseluruhan system itu. Pemilihan anggota Majelis Konstituante dalam bulan Desember merupakan suatu anti klimaks dan menimbulkan hasil-hasil menyeluruh yang serupa (Ricklefs, 1998: 378).
Para lembaga-lembaga Negara yang merupakan hasil bentukan dari pemilu ternyat tidak mampu ,melaksanakan tugas sesuai kehendak rakyat, seperti hal yang dijelaskan dibawah ini:
a.DPR hasil pemilu tidak bekerja untuk kepentingan nasional dan kepenttingan rakyat. Anggota-anggota DPR hanya memperjuangkan kepentingan partainya masing-masing. Oleh karena itu, perselisihan antar partai tetap berjalan, sehingga stabilitas politik tidak tercapai.
b.Konstituante sebagai hasil pemilu, juga tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Dalam menyusun UUD, anggota-anggota konstituante hanya mementingkan urusan partainya sendiri-sendiri sehingga dalam setiap rapat konstituante sering terjadi perdebatan-perdebatan sengit.

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajahmada University Press

Kansil,C.S.T. 1986. sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Poesponegoro, Marwati D. 1984. Sejarah NAsional Indonesia 6. Jakarta: Balai Pustaka


www.pemilihan umum di indonesia
www.pemilu 1955

Minggu, 19 Desember 2010

Manifest0 0f C0mmunist (Historis Materialisme)

Pemikiran Karl Marx
Historis Materialisme
Menurut Marx, faktor materi atau ekonomi merupakan produksi barang dan jasa yang menopang kehidupan manusia serta pertukaran barang dan jasa dasar dari segala proses dan lembaga sosial. Namun Marx tidak mengklaim bahwa hanya faktor ekonomi yang menciptakan sejarah, tetapi menyatakan bahwa faktor ini yang terpenting sebagai dasar atau landasan untuk membangun suprastruktur kebudayaan, perundang-undangan, dan pemerintahan yang diperkuat oleh berbagai ideologi politik, sosial, keagamaan, kesusastraan, serta seni yang sejalan. Metode dialektika Marx yang berupa dalam cita (the ideal) tidak lain dari dunia nyata (material world) yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan dipindahkan menjadi buah pikiran.
Marx melukiskan hubungan antara kondisi material dan kehidupan masyarakat dengan idenya yang dikemukakan : “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, akan tetapi sebaliknya keberadaan sosial manusia itulah menentukan keberadaan kesadarannya”. Materi adalah hal utama bagi Marx sebab manusia dapat berpikir karena manusia harus hidup dan berpikir. Oleh sebab itu, bagi Marx yang mengubah sejarah itu bukan pikiran tetapi cara produksi. Lebih luas lagi berkaitan persoalan ekonomi yaitu hubungan manusia dan benda tenaga-tenaga produktif, serta hubungan manusia dengan manusia yang disebut juga dengan hubungan produktif. Materialism yang dimaksud menjelaskan hubungan-hubungan manusia berdasarkan kenyataan sejarah.
Tahap perkembangan sejarah ditentukan atau dipengaruhi oleh keberadaan material. Bentuk dan kekuatan produksi material tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan sosial manusia serta formasi politik, tetapi juga pembagian kelas sosial. Menurut Marx, pemilikan tanah akan menjadi kunci pembentukan lembaga dan pemikiran politik, sosial, hukum dan kebudayaan. Analisis Marx yang terpenting adalah materi atau ekonomi menentukan perkembangan dan perubahan sejarah. Masyarakat yang digambarkan oleh Marx adalah suatu komunitas yang tidak berkelas, tentram, tenang, mansuia dengan displin diri dan pandangan terhadap kerja sebagai sumber kegembiraan terlepas dari perlu tidaknya segi keuntungan serta kepentingan diri.
Dalam bukunya, “Economic and Philoshopic Manuscripts”, Marx menyebutkan industrialisme benar-benar hadir dan harus disambut sebagai satu-satunya harapan untuk membebaskan manusia dari keburukan nafsu kebendaan, ketidakpedulian dan penyakit. Dalam manuskrip, Marx mengatakan bahwa kapitalisme manusia dialienasikan dari pekerjaan, barang yang dihasilkannya, majikan, rekan sekerja dan diri mereka sendiri. Buruh menurut Marx tidak bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya serta potensi kreatifnya karena pekerjaannya tidak berdasarkan atas kesukarelaan tetapi atas dasar paksaan. Untuk mengembalikan kesosialan mansia sebenarnya, hak milik pribadi atas alat-alat produksi harus dihapus. Akan tetapi, hak milik pribadi bukan suatu perkembangan kebetulan melainkan akibat dari pembagian kerja. Penghapusan tergantung dari kondisi ekonomi objektif. Ajaran tentang kondisi tersebut oleh Marx sendiri disebut “pandangan materialis sejarah”.
Buku “The Manifesto of The Communist Party” dikemukan mengenai hakikat perjuangan kelas, yang dijelaskan:
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada samapai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya, dan berlangsung tanpa terputus”.
Dengan tegas Marx menjelaskan bahwa persoalan perjuangan kelas adalah bagian yang tidak terlepas dari pergulatan manusia sepanjang zaman. Ini bagian dari pergolakan untuk melakukan perubahan sosial dari golongan masyarakat yang tertindas berhadapan dengan golongan yang menindas semenjak munculnya kelas sosial itu sendiri. Pragmentaris golongan kelas itu terbagi atas yang dikuasai dan menguasai. Menurut Marx polarisasi itu terdiri atas kelas Borjuis (kelas yang menindas) dan kelas Proletar (kelas yang ditindas). Marx menyebutkan pola hubungan yang eksploitatif diantara dua kelas akan menimbulkan pertentangan kelas (conflict class) dan akhirnya timbul kelas yang revolusioner untuk melakukan perubahan secara revolusioner yang menuntut adanya perubahan struktur kekuasaan dimana kalangan tertindas akan mengambil alih kekuasaan dari kalangan yang menindas sehingga terciptalah masyarakat tanpa kelas (unclasses society).

Senin, 20 September 2010

just f0r my beL0ved m0m

Sometimes I feel my heart so lonely but it's ok
No matter how my girl just left me and I don't care
Whenever the rain comes down and it's seems there's none to hold me
She's there for me, she's my mom

Just for my mom, I write this song
Just for my mom, I sing this song
Just for my mom, can wipe my tears
ust for my mom, can only here

Trap in a subway, can't remember the day but I feel ok
Damped in damn situation, in every condition with no conclusion
Whenever the rain comes downand it's seems there's none to hold me
She's there for me, she's my mom

You may say I have none to cover me under the sun
She's there for me, she's my mom



Luv U m0m very much..

Rabu, 28 Juli 2010

“ ZIGURRAT ” SENI ARSITEKTUR BANGSA SUMERIA

“ ZIGURRAT ”
SENI ARSITEKTUR BANGSA SUMERIA
Artikel

Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Sejarah Asia Barat Daya
Yang Dibimbing Oleh Ibu Sri Sumartini


Oleh:
Ida Purwanti (107261410731)
Ika Rahmatika C (107261407217)
Wiji Erwanto (207261411889)


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SEJARAH
PENDIDIKAN SEJARAH
Februari 2009

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bercerita tentang arsitektur tidak luput dari jejak sejarah peradaban manusia. Arsitektur sebagai ruang hidup manusia selalu berkembang seiring peradabannya. Arsitektur menjadi bukti sejarah perjalanan manusia. Dari era ancient world, classic era, modern, sampai era informasi sekarang ini kebutuhan manusia semakin kompleks, seiring perkembangan inovasi dan teknologi hasil rekayasa manusia. Kemudian era-era peradaban arsitektur manusia dikelompok dengan berbagai generasi. Hampir seluruh aspek yang mempengaruhi hidup manusia pada masing-masing era menjadi pembentuk arsitektur di jamannya masing-masing. Seperti paradigma berfikir, kepercayaan, geografis, penguasa suatu wilayah, maupun pengaruh dari inovasi teknologi.
Sumeria merupakan gabungan negara-negara kota di sekitar Tigris dan Eufrat bawah yang sekarang merupakan Irak selatan. Di masa kini, daratan yang akan sering ditemui mereka yang melakukan perjalanan ke Irak selatan hanyalah padang pasir yang sangat luas. Sebagian besar daratan, kecuali kota-kota dan daerah-daerah yang telah dihutankan, diselimuti pasir. Padang pasir ini, tanah asal bangsa Sumeria, telah ada sejak ribuan tahun. Negeri mereka yang jaya, yang kini hanya dapat ditemui di buku-buku pelajaran, sama nyatanya dengan peradaban mana pun sekarang. Bangsa Sumeria hidup sebagaimana kita saat ini dan menciptakan karya-karya arsitektur yang luar biasa. Dalam sebuah pengertian, kota-kota yang luar biasa indahnya yang dibangun oleh bangsa Sumeria adalah bagian dari warisan budaya bagi zaman kita. Bangsa Sumeria yang tinggal di sepanjang sungai Tigris dan Eufrat, telah memiliki keterampilan membangun arsitektur perkotaan, konstruksi kubah dan piramida-piramida tangga yang disebut zigurat. Dari kebudayaan Persia (Iran purba) telah diwarisi kemahiran membangun konstruksi pilar, penggunaan bahan batu-bata pada bangunan istana dengan teknik konstruksi lengkungan-lengkungan yang disebut iwan dan gerbang dengan berbagai hiasan. Oleh karena itu kami akan membahas tentang hasil arsitektur bangsa Sumeria.
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Di Bangunnya Zigurrat di Sumeria
Ketika para pengembara mulai menghentikan kebiasaannya dan menetap di dusun-dusun, rumah tinggal dibangun dari bata yang dijemur, dan tiap-tiap rumah terdiri dari 6 sampai 7 ruang berbentuk panjang melorong, yang diatur mengelilingi sebuah halaman dalaman (patio), sehingga hawa yang panas diluar tidak sampai masuk ke dalam rumah. Akan tetapi bagi penghuni rawa gelagah, mereka membangun rumahnya dari bahan yang tersedia, yakni gelagah rawa yang mudah hancur. Bangunan yang dihasilkan mirip terowongan dengan atap melengkung,dengan cara menanam 2 deret ikatan gelagah kedalam tanah untuk membuat pilar, lalu melengkungkan serta mengikat pada ujungnya untuk membuat lengkungan atap gelagah pula, itulah gubug gelagah. Patio sebagai halaman dalam, sangat penting artinya bagi orang Mesopotamia. Patio tersebut mengikat ruang-ruang yang mengelilinginya, yang terdiri dari ruang-ruang berbentuk rangkaian segi panjang yang sempit melorong yang ditutup oleh atap melengkung. Bahan bangunan terdiri dari bata Lumpur yang dikeringkan, sehingga secara struktural merupakan tatanan dinding bata yang cukup tebal, disamping karena bahannya sendiri juga dapat mengkondisikan ruang dalamnya, agar panas dari luar tidak terbawa masuk. Bukaan pada pintu dan jendela cukup kecil saja, juga agar hawa panas tidak masuk kedalam ruang, sedangkan kesan secara keseluruhan masif.
B. Karakteriastik Bangunan Zigurrat di Sumeria
Bangsa Sumeria adalah bangsa yang tinggal di daerah Mesopotamia (Irak) dari abad 4 BC sampai 3 BC. Di Sumeria sudah ditemukan perencanaan tata kota, courtyard house, dan Ziggurats (bangunan terbuat dari susunan bata). Sekitar tahun 2250 sebelum masehi dikenal adanya artificial ‘Hill of Heaven’ yang merupakan monument keselamatan terbesar simusim panas yang bernama ‘The Ziggurat of Ur’ yang merupakan monument penghormatan kepada salah satu Tuhan mereka bulan dan gunung sebagai rumah yang diberikan kepada pendatang pertamanya. Menurut Sir Leonard Wooley, Zigurat itu setinggi 68 feet yang terletak pada terase setinggi sepuluh feet di atas kota. Bangsa Sumeria sangat peduli dengan keberadaan tukang bangunan. Arsitektur Sumeria adalah dasar dari peradaban arsitektur yang berkembang kemudian di sekitar Timur Tengah. Bangunan di Sumeria menggunakan bata lempung sebagai material utama. Selain itu di Sumeria sudah memiliki desain tata kota, arsitektur rumah tinggal, arsitektur bangunan umum (tempat ibadah), Kuil, Istana, dan arsitektur lansekap. Pada umumnya ditemukan kuil untuk pemujaan yang disebut ziggurat. Ziggurat berasal dari kata zagaru yang artinya bangunan tinggi seperti gunung karena merupakan menara bertingkat yang makin lama makin kecil. Ziggurat adalah menara kuil berbentuk limas yang berundak dan bertudung, dalam khazanah arsitektur Asiria. Bahan bangunan di Mesopotamia pada umumnya terbuat dari tanah liat yang dijemur.
Tulisan bangsa Sumeria disebut tulisan paku (cunei form). Mereka menggunakan ± 350 tanda gambar dan setiap gambar merupakan satu suku kata. Huruf-huruf itu dituliskan pada papan tanah liat yang digoresi atau ditulisi menggunakan karang yang keras dan berujung tajam. Selain itu juga tulisan bangsa Sumeria terdapat di relief- relief bangunan Ziggurat. Huruf paku sudah dikenal sejak tahun 3000 SM digunakan untuk mencatat hasil panen, harta benda serta urusan perdagangan. Huruf paku disebarkan oleh bangsa Funisia di sekitar Laut Tengah. Bangsa Yunani mengambil dan mengembangkan menjadi huruf Alfa, Beta dan Gama. Kemudian bangsa Romawi mengembangkan menjadi huruf Latin.
TEORI-TEORI YANG RELEVAN
Teori arsitektur (theory of architecture) yakni sebentuk teori yang khas arsitektur, mirip teori atom atau teori gravitasi yang muncul serta berlaku dalam ilmu fisika. Teori arsitektur jenis ketiga ini sebenarnya lebih tepat berada dalam kategori theory on architecture, yang menunjukkan adanya academic sense daripada theory about architecture. Meskipun demikian, theory on architecture akan muncul dari adanya theory about architecture, sebagai konsekuensi logis dan menjadi substansi dari paradigma arsitektur yang dianut seorang pencetus teori.
1.Teori Urban Desain
Dalam proses urban design didasarkan pada teori-teori yang harus selalu diperhatikan yaitu:
1. Figure Ground Theory (solid-void plan)
Berisi tentang lahan terbangun (urban solid) dan lahan terbuka (urban void). Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah pola existing figure ground dengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa bangunan dengan ruang terbuka.
a. Urban solid
Tipe urban solid terdiri dari:
1.Massa bangunan, monumen
2.Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan
3.Edges yang berupa bangunan
b.Urban void
Tipe urban void terdiri dari:
1.Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat transisi antara publik dan privat
2.Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa bangunan bersifat semi privat sampai privat
3.Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat publik karena mewadahi aktivitas publik berskala kota
4.Area parkir publik bisa berupa taman parkir sebagai nodes yang berfungsi preservasi kawasan hijau
5.Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan curvalinier. Tipe ini berupa daerah aliran sungai, danau dan semua yang alami dan basah.
2. Teori Keterkaitan (Linkage Theory)
Linkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik yang satu dengan yang lain. Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris dan sebagainya. Menurut Fumuhiko Maki. Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu kota. Teori ini terbagi menjadi 3 tipe linkage urban space yaitu:
1.Compositional form
Bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi. Dalam tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung
2.Mega form
Susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus dan hirarkis.
3.Group form
Bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka. Kota-kota tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.
3. Teori Lokasi (Place Theory)
Teori ini berkaitan dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian terhadap budaya dan karakteristik manusia terhadap ruang fisik. Space adalah void yang hidup mempunyai suatu keterkaitan secara fisik. Space ini akan menjadi place apabila diberikan makna kontekstual dari muatan budaya atau potensi muatan lokalnya. Salah satu bentuk keberhasilan pembentuk place adalah seperti aturan yang dikemukakan Kevin Lynch untuk desain ruang kota:
1.Legibillity(kejelasan)
Sebuah kejelasan emosional suatu kota yang dirasakan secara jelas oleh warga kotanya. Artinya suatu kota atau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas mengenai distriknya, landmarknya atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola keseluruhannya.
2.Identitas dan susunan
Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang lainnya, sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya kemudahan pemahaman pola suatu blok-blok kota yang menyatu antar bangunan dan ruang terbukanya
3.Imageability
Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya.
Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu:
•Paths
Adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api, dan yang lainnya.
•Edges
Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan. Edges berupa dinding, pantai hutan kota, dan lain-lain.
•Districts
Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.
•Nodes
Adalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik.
•Landmark
Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.
4.Visual and symbol conection
•Visual conection
Visual conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan visual antara satu bangunan dengan bangunan lain dalam suatu kawasan, sehingga menimbulkan image tertentu. Visual conection ini lebih mencangkup ke non visual atau ke hal yang lebih bersifat konsepsi dan simbolik, namun dapat memberikan kesan kuat dari kerangka kawasan
Dalam pengaturan suatu landuse atau tata guna lahan, relasi suatu kawasan memegang peranan penting karena pada dasarnya menyangkut aspek fungsional dan efektivitas. Seperti misalnya pada daerah perkantoran pada umumya dengan perdagangan atau fungsi-fungsi lain yang kiranya memiliki hubungan yang relevan sesuai dengan kebutuhannya.
•Symbolic conection
Symbolic conection dari sudut pandang komunikasi simbolik dan cultural anthropology meliputi:
•Vitality
Melalui prinsip-prinsip sustainance yang mempengaruhi sistem fisik, safety yang mengontrol perencanaan urban struktur, sense seringkali diartikan sebagai sense of place yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang memiliki keunikan dan karakteristik suatu kota.
•Fit
Menyangkut pada karakteristik pembangkit sistem fisikal dari struktur kawasan yang berkaitan dengan budaya, norma dan peraturan yang berlaku.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sekitar tahun 2250 sebelum masehi dikenal adanya artificial ‘Hill of Heaven’ yang merupakan monument keselamatan terbesar simusim panas yang bernama ‘The Ziggurat of Ur’ yang merupakan monument penghormatan kepada salah satu Tuhan mereka bulan dan gunung sebagai rumah yang diberikan kepada pendatang pertamanya. Arsitektur Sumeria adalah dasar dari peradaban arsitektur yang berkembang kemudian di sekitar Timur Tengah. Tulisan bangsa Sumeria disebut tulisan paku (cunei form) yang juga terdapat pada relief bangunan Ziggurat.
Teori arsitektur (theory of architecture) yakni sebentuk teori yang khas arsitektur, mirip teori atom atau teori gravitasi yang muncul serta berlaku dalam ilmu fisika. Teori arsitektur jenis ketiga ini sebenarnya lebih tepat berada dalam kategori theory on architecture, yang menunjukkan adanya academic sense daripada theory about architecture. Meskipun demikian, theory on architecture akan muncul dari adanya theory about architecture, sebagai konsekuensi logis dan menjadi substansi dari paradigma arsitektur yang dianut seorang pencetus teori.